Sementara kita memikirkan diri sendiri, terkadang terbesit dalam benak, “seberapa besar kita sudah berbuat untuk orang lain?”
Ya, itu bukan kamu seorang. Aku pun. Semua orang aku rasa pernah mengalami hal-hal semacam ini. Ini adalah bagian dari self-muhasabah kalau kataku.
Seacuh-acuhnya kita dengan dunia luar, sefokus-fokusnya kita dengan target dan impian pribadi, diri ini merasa perlu untuk berlaku baik dan melakukan sesuatu untuk orang lain.
Meskipun kita tak merencanakan untuk melakukan muhasabah, untuk mengintropeksi diri, tapi seolah-olah hati ini memainkan perannya sebagai pengatur norma dan perasaan, membuat kita benar-benar bisa menjadi manusia.
Kita harus beruntung, karena terlahir bukan sebagai tikus got, atau sebagai belukar yang berada ditanah lapang. Semestinya, kita harus memperhatikan betul-betul alert dari hati ini.
Baiklah, lalu apa?
Lain dari self-healing yang bisa menyembuhkan tanpa kita perintahkan, self-muhasabah hanya bisa mengingatkan, tak akan berdampak kalau kita tak berbuat sesuatu.
Kita harus memikirkan, apa-apa saja yang bisa kita lakukan untuk menjadi seorang yang bisa memberikan manfaat bagi yang lainnya.
Mungkin akan terasa agak aneh diawal, namun, percayalah, kita itu telah mengakar, kita tak akan merasakannya lagi, kita akan berbuat hal-hal seperti itu dengan sendirinya.
Kita akan tetap merasa kurang dalam memberi, tetap akan merasa kurang dalam menolong, ya, karena itulah self-muhasabah bekerja.
Kita tak akan menyadari kita telah banyak berbuat baik. Itu poin penting dimana kita benar-benar berhasil berbuat.
Ketika kita sudah tak banyak berpikir ketika harus melakukan kebaikan, ketika kita tak perlu melibatkan kepala.
Mungkin orang lain menyadari hal itu, tapi kita melakukannya bukan untuk mereka.