Terakhir kali sebelum cuaca menjadi mendung, aku putuskan untuk berhenti melangkahkan kaki.
Beberapa waktu sebelumnya, aku telah dipertemukan dengan kuda gagah nan indah yang telah kuidam-idamkan sedari lama. Tubuhnya yang kekar, parasnya yang rupawan, dan sapaannya yang gahar, ah molek sekali.
Siapa rela melepaskan kuda gagah nan indah dipelataran yang penuh hiruk pikuk ini, tetapi ada rupanya. Seorang yang ternyata sedang kalang kabut, sepertinya sedang mencari apa saja yang bisa ia pegang supaya tak tenggelam.
Ya, seperti kebanyakan orang. Meskipun sejatinya ia piawai dalam bertarung, ia akan gagap pula ketika mukanya diterjang dengan pukulan yang kuat. Orang-orang yang pandai dalam berenang, ketika tiba-tiba diterjunkan ke lautan lepas, kadang pula mereka gagap dan ingin menggapai apa saja yang bisa ia gapai supaya tetap mengapung.
Andai ia seorang kaya raya, memiliki rumah nan mewah dan harta tak cukup dihitung sewindu, nyatanya mereka akan rela memberikan semuanya itu demi ditukar dengan nafas. Bukankah, biasanya mereka bernafas setiap hari setiap waktu tanpa memikirkan hal itu? Gumamku.
Ah iya, ternyata orang itu sedang gagap. Sehingga dia rela melepas kudanya demi cuan yang entah untuk kebutuhan apa. Kuda yang ditukar dengan nilai yang rendah untuk ukuran betapa gagah dan moleknya kuda itu.
Setelah aku tau berapa keping emas yang mungkin tuk ditukarkan, aku bimbang. Aku ingin sekali menungganginya, ambisiku menggebu.
Tiada alasan untuk tidak. Bahkan, andaikata aku mencari alasan, akan banyak sekali alasan untuk memilikinya.
Aku memiliki cukup kepingan emas untuk ditukarkan, aku tau kalau aku tiada akan rugi memilikinya. Bahkan aku boleh jadi kepingan milikku berlipat setelah nanti aku menjualnya.
Baiklah. Keinginanku telah membulat.
Sebentar….
Bagaimana bisa aku telah ikrarkan keinginanku, dengan segala kemampuanku, dengan segala peluang-peluang itu, tetapi ada gelisah yang tak bisa aku jelaskan mengapa.
Ada apa ini?
Gelisah itu kemudian menjelma menjadi keraguan yang mengusikku. Aku tak boleh sembrono dan membiarkan diriku basah kuyup oleh hujan di musim terang.
Aku cari tahu, aku lihat kedalam diriku, aku lihat ke sekelilingku, apakah yang menjadi sumbu kegelisahan ini, kergauan ini.
Kemudian aku seketika teringat dengan keadaan keluargaku dirumah. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan, namun sudah cukup menjadi alasan kegelisahan ini mencengkeram dan memenuhi hingga sesak diantara rongga dadaku.
Kemudian aku menoleh kebelakang, kupandangi kuda milikku.
Kudaku sepertinya tak mau diduakan, ia bak memelas dibalik piawainya ia menggodaku dengan kedipan sebelah matanya.
“Buat apa? Bukankah aku tak pernah menyulitkanmu? Bukankah aku telah menemanimu sampai kamu berada disini? Bukankah aku yang setiap hari kau rawat dan kau sayang?”, aku bisa mendengar melalui raut wajahnya.
Baiklah, aku mengerti. Banyak hal yang tak dapat dijelaskan dan terkadang tak sesuai dengan perhitungan, karena hati itu dicipta dari kasih bukan dari sempoa.
Terakhir kali sebelum cuaca menjadi mendung, aku putuskan untuk berhenti melangkahkan kaki.
Bukan untuk aku berdiam, tetapi mencari tepi lain yang tak membuatku terjatuh dan hanyut.
Pelajaran lain yang aku dapati, terkadang keputusan bulat itu bukan berarti tak bisa berubah, justru ia mudah menggelinding dan berbalik arah.