Aku pergi karena tugas, aku kembali karena cinta

Posted on

Sekilas pagi hari ini biasa saja, seperti kemarin. Hanya, mungkin sedikit lebih cerah, atau dengan kata lain hari kemarin terlalu muram, mungkin? Begitulah, seharian kemarin memang langit tak menampakan citranya sama sekali, hanya pasrah ditelan gundah awan yang mengepul hitam.

Eitts, tapi bukan tentang hari kemarin aku bercerita, anggap saja itu hanya sebagai prolog bagaimana aku menggambarkan surya dipagi ini. Yep, rutinitas sebagai seorang pekerja adalah bangun pagi, bersiap mandi dan bernagkat ke kantor. Untuk hari ini, aku juga sempat mampir ke Bubur Ayam (Depan UTY, YK) tempat biasa aku mengisi daya energiku ketika pagi. Dan, pada tulisan ini, hal tersebut bukanlah yang spesial. Lalu apa?

Ditengah-tengah perjalanan menuju tempat ku menggandrungi dunia, di pagi yang sepertinya penuh dengan harapan, tak sengaja ku jumpai sosok senja yang masih dengan begitu garangnya dia menjinakkan becak tunggangannya. Di antara badan becak itu, kudapati beberapa tulisan. Yah, mungkin sekedar tulisan mural sederhana pikirku. Semakin dekat, ternyata mural diantara tubuh becak itu bukanlah sesederhana yang kubayangkan. Seketika aku tertuju kepada satu kalimat, diantara beberapa kalimat yang dia sajikan.

“Aku pergi karena tugas, aku kembali karena cinta”

 

Seketika, sepersekian detik setelah itu aku langsung teringat dengan keluargaku dirumah. Aku langsung seperti masuk ke dalam lorong waktu, dan dilahirkan sebagai lakon utama dalam sebuah novel bertema cinta kasih dengan judul tulisan tersebut.

Aku sadari, sudah beberapa bulan ini aku tidak lagi menjadi seorang mahasiswa. Dan perantauanku ini bukanlah sebagai anak kecil yang terlalu banyak merintih lagi. Aku yang sekarang ini tanpa sadar telah menjadi lebih garang, lebih berat dan ada sesuatu yang berbeda dengan diriku, tanpa aku rasakan bagaiman proses transformasinya. Aku merasakan, kepergianku ini benar-benar karena tugas. Tidak sekedar tugasku kepada payung dimana ku berteduh di kota ini, namun juga tugas ku sebagai payung dari keluargaku.

Baca juga  Udara Segar

Aku juga harus mengakui, cintalah yang sering membawaku segera ingin dan ingin lagi kembali ke kampung halaman. Sering sekali ku sempatkan untuk pulang. Boleh dikata, tentang keberadaanku di Kota Guded ini default-nya adalah untuk kembali pulang kerumah, bekerja adalah sebagai pengisi waktu, sembari aku menunggu waktu pulang kembali.

Terkadang, mural-mural yang kita temui dijalanan memang begitu menginspirasi. Pernah juga kutemui, tulisan dalam bak sebuah truk, “Pulang malu, tak pulang rindu”. Sampai seperti itu para pencari nafkah menggambarkan apa yang dirasanya didalam hati. Pulang malu, malu kalau ketika pulang tak ada apa-apa yang bisa dia bawa, malu jikalau ketika pulang keadaan dirumah sedang diambang lapar, sementara tak ada beras yang kita bawa pulang. Namun untuk tak pulang, itu bukanlah hal yang mudah. Rindu itu seperti komplikasi antara kangen akut dan dahaga yang ingin segera dituntaskan.

Seperti pengayuh becak yang kujumpai tadi, aku yakin, diantara peluh yang menetes disetiap kayuhannya, disetiap hela nafas dipenghujung usianya, ada cinta yang begitu mendalam untuk keluarga dirumah, untuk istri, anak-anak, atau mungkin cucu dan seterusnya. Aku pun jadi teringat hitam legam kulit bapakku terbakar mega diantara habisnya hari demi hari yang beliau lalui di sawah. Aku pun meyakini, meski tak ditampakkannya, ketulusan itu mencuat dengan sendirinya, dan meneduhkan seisi rumahku. Aku sendiri heran, sekeras apa yang beliau lalui aku tau itu, tapi ketika malam tiba, di gubuk sederhanaku, letih itu sama sekali tak kulihat, itulah orang tuaku.

Kepadamu para pemikul beban keluarga, tak usah kuatir dengan peluh itu, hujan dan petir yang mengiringi perjalananmu, biar mereka menjadi saksi atas perjuanganmu. Tak usah resah dengan sakit dan perih yang kau lalui kini, biar dia menjadi hujjah-mu di hari akhir nanti. Aku mengerti itu, meski tak banyak yang ku banggakan, kecintaanku kepada mereka yang menanti dirumah adalah alasan kenapa aku tetap pergi.

Baca juga  Vespa pertama gua

 

Yogyakarta, 25 Oktober 2017

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments